Home Sitemap

Sitemap

HomePrint viewSitemap

Pesantren Man Ana

You are here: Home « Artikel Islam « Kisah Inspiratif

Aku mah apah, atuuh...?

“nak, sesungguhnya, seorang wanita, jika sudah bersuami, maka kewajibannya adalah patuh dan tunduk kepada suaminya. Orang tua, adalah nomor sekian. Bahkan ketika kamu dihadapkan oleh dua pilihan yang amat berat antara mengikuti orangtuamu atau suami, maka kewajibanmu adalah menta’ati suamimu. Oleh karena itu, ibu ingin sekali kamu mendapatkan suami yang loman pada orangtuamu. Dan jika kamu tidak keberatan, biarkan ayah dan ibu yang mencarikan suami sebagai pendamping hidupmu. Semoga saja apa yang kami pilihkan adalah seseorang yang bukan hanya bisa mencintaimu, tapi juga mencintai orangtuamu.” Jelas sekali kalimat yang ibu sampaikan padaku saat aku belum menikah.

Aku setuju dengan apa yang ibu sampaikan. Sebab kufikir, kapan lagi aku bisa membahagiakan kedua orangtuaku, jika bukan sekarang karang ini. Karena nantinya, aku pasti harus pergi meninggalkan orangtua demi mengikuti suami.

Orangtuaku menjodohkan aku dengan anak sahabat karibnya. Padahal saat itu aku terbilang masih remaja. Usiaku baru menginjak 16 tahun. Maklum orang kampung. Pernikahan dini adalah hal yang lumrah.

Tiga tahun usia pernikahan, hubungan antara keluarga kami dan keluarga suami sangat harmonis. Setiap ada permasalahan di rumahtanggaku, orangtuaku dan mertua selalu berembug mencarikan jalan terbaik. Namun setelah mertua lelaki meninggal dunia, sejak saat itu, sepertinya ulah suamiku tak terkendali. Ia sering berbantah bantahan dengan orangtuaku. Sedih memang. Tapi bagaimana lagi, aku tetap harus mengikuti petuah ibu yang harus lebih memilih suami ketimbang dirinya.

Disaat ekonomi rumahtanggaku morat-marit, suami sering marah dan memukuli aku. Apalagi ketika anak keduaku lahir. Ekonomi makin tidak karuan.

“dik, banyak tetangga kita yang istrinya kerja di HongKong. Kenapa kamu tidak berinisiatif untuk ikut mencari uang ke sana?”

“mas, untuk berangkat ke HongKong itukan harus pakai duit buat bayar ke sponsor. Lah kita uang dari mana mas?”

“kan ayahmu masih punya motor. Kita bisa pinjam motornya buat modal kamu berangkat ke HongKong kan?”
“aku tidak tega mas. Itu motor ayahku semata wayang. Kalau motor itu dijual, lantas ayah pergi mengajar naik apa?”

“ah, dasar kamu ini gak bisa diajak kaya. Hidup sama kamu ini bikin aku apes. Rejekiku seret. Kamu pembawa sial!” Keributan dalam rumahtanggaku kerap terjadi hanya karena urusan modal buat kerja ke HongKong. Sampai ayahku mendengar perkara ini. Yang akhirnya ayah memberikan uang hasil penjualan motor itu kepada suamiku. Singkat cerita, aku berhasil kerja di HongKong. Namun ketika aku mengirimkan uang kepada ayah untuk menggantikan uang ‘motor’ Nya, suamiku marah besar. “bagaimana mungkin kamu kirimkan uang ke ayahmu, sedangkan kehidupan kita morat-marit begini?”

“tapi kan itu uang beliau mas. Kita punya hutang sama ayah. Dan kewajiban kita untuk membayarnya bukan?”

“sok pinter kamu tuh. Wong yang dihutangi itu orangtuamu sendiri kan. Masa orangtua tidak mau mengerti keadaan anaknya. Sudahlah, kamu bisa nurut tidak sama suamimu. Kalau tidak bisa, sekalian saja kamu, aku pulangkan ke orangtuamu!”

“astagfirullah mas....!”
Aku hanya bisa menangis saat suami menutup teleponnya. Bathinku bergumam, ya Allah, berikan hidayah kepadaku. Turunkan petunjukMu. Bagaimana seharusnya aku berbuat.

Sementara ini, aku hanya bisa mengikuti semua perintah suamiku, bukan karena aku tidak peduli kepada orangtuaku, tapi semata mata karena mengharapkan ridhoMu. Dengan menta’ati suamiku.

“dik, kamu sudah hampir dua tahun di HongKong. Apa kamu tidak kangen sama suamimu? Ingat ya, bahwa ridho Allah ada pada ridho suami. Jadi hati hati jika aku sampai tidak ridho kepadamu.”

“iya mas. Apakah selama ini aku pernah tidak mengikuti perintah mas? Aku akan berusaha semaksimal mungkin menta’ati mas karena berharap ridho dari Allah. Mas.”

“ya sudah, kalau begitu, aku mau, kamu pulang dalam Minggu Minggu ini.”

“mas, tiga bulan lagi aku finis kontrak. Disaat itu aku akan mendapatkan cuti. Namun jika sekarang aku minta izin pulang, aku bisa di interminit mas.”

“aku gak mau tahu. Pokoknya dalam Minggu Minggu ini, kamu harus pulang. Kalau tidak, aku akan ceraikan kamu karena kamu telah durhaka kepadaku.”

“masya Allah mas..... halo, halooo.....?” rupanya telepon sudah di tutup oleh suamiku. Terpaksa aku memberanikan diri untuk meminta izin kepada majikanku agar di bolehkan pulang dalam Minggu Minggu ini. Karuan saja majikanku tidak terima dengan alasan ini. Ia mengancamku untuk menginterminit aku. Namun lagi lagi, aku hanya berharap ridho Allah. Terserah apapun yang akan terjadi. Aku tetap bersikeras minta pulang.

Awalnya aku tidak diizinkan kembali ke HongKong. Namun karena baru beberapa bulan ekonomi rumah tangga kami tidak stabil lagi, akhirnya aku di suruh berangkat lagi ke HongKong.

Kuikuti lagi maunya suami. Setiap bulan suami selalu menagih uang kepadaku. Bahkan ia minta semua gajiku dikirim kepadanya. Lagi lagi kulakukan itu dengan terus berharap ridho Allah. Untung saja aku punya aktivitas lain yang bisa memberikan tambahan pendapatanku. Dan pendapatan tambahan itulah yang kugunkanan buat menabung dan biaya hidupku di negeri orang.

Suatu ketika, ayahku sakit keras. Beliau membutuhkan biaya untuk perawatan rumah sakit. Aku minta izin kepada suami untuk di bolehkan berkirim kepada ibu guna membantu biaya ayah yang sedang sakit. Tapi rupanya suami tidak mengizinkan. Katanya, bahwa ayahku pura pura sakit dan terlalu manja, pakai dirawat segala. Jantungku berdegup keras mendengarnya. Terus terang, sebagai anak, saya tidak terima oragtuaku di anggap sebelah mata seperti itu. Aku tetap mengirimkan uang kepada ibu dari hasil jualanku di HongKong. Dan Alhamdulillah, selang berapa lama, ayah sembuh. Namun kejadian itu menjadi malapetaka hebat bagiku. Suamiku mengetahui bahwa aku mengirimkan uang pada ibu.

“darimana kamu dapat uang sebanyak itu, sedangkan uang gajimu semuanya telah dikirim kepadaku? Jangan bilang bahwa kamu disana menjadi pelacur ya!!!”

“masya Allah mas. Naudzubillah minzalik mustahil bagiku melakukan hal itu. Aku punya gusti Allah mas. Aku punya anak mas. Aku juga punya orangtua yang telah melahirkanku. Aku tidak ingin Allah murka kepadaku. Aku tidak ingin anakku seperti apa yang mas tuduhkan kepadaku. Dan aku..... huhuhu.....” aku menangis tidak kuasa menahan sesak didada oleh tuduhan itu. “... aku tidak mungkin memasukkan orangtuaku ke dalam neraka karena telah memiliki anak seorang pelacur. "Huhuhu...... mas tega mengatakan aku begitu..... huhuhu....”

“halaaah, sudah deh, ndak usah pura pura nangis didepanku. Aku tahu itu air mata buaya. Buktinya, aku katakan jangan kirim uang ke ibu, tapi kamu masih tetap kirim uang. Itu tandanya kamu sudah durhaka kepadaku. Maka sejak saat ini, dengan sadar, aku ceraikan kamu sebagai istriku...!!!”

“astagfirullah........!!!” Dunia seperti kiamat bagiku saat itu. Dadaku sesak tiada tara. Pandanganku mendadak samar dan gelap. Setelah itu aku tidak sadarkan diri. Ketika aku terbangun, aku sudah berada dirumah sakit. Rupanya majikanku yang membawaku kerumahsakit. Alhamdulillah. Majikanku yang kedua ini sangat baik sekali. Disamping aku boleh melakukan sholat dan memakai jilbab, aku sering di perlakukan sebagaimana manusia lazimnya oleh majikanku ini.

“What haven with you....?” tanya majikanku saat aku baru membuka mataku di pembaringan rumahsakit. Kujawab dengan senyuman dan linangan airmata. Lalu aku berkata kepada majikanku.

“maafkan aku jika selama hidup bersama anda belum maksimal membantu urusan rumah tangga anda. Dan mulai hari ini, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk berbakti kepada keluarga anda. Marahi aku bila terdapat kesalahan dalam pekerjaanku. Ajari dan bimbing aku Agar aku bisa mengikuti kehendak kalian. Karena kalian adalah keluargaku di negeri yang bukan negriku ini. Huhuhu.... “ aku menangis lagi.

“Its Will be fine.....” ucap majikanku sambil menepuk pundakku.

Sejak saat itu, aku bertekad untuk menjadi Rabi’ah al adawiyah. Aku ingin semakin dekat dengan Allah. Aku ingin membahagiakan kedua orangtuaku. Kugadaikan pasporku untuk meminjam uang ke bank. Lalu kukirimkan kepada kedua orangtuaku. Awalnya orangtuaku heran dan takut. Mereka bertanya,
apakah suamiku tahu akan hal ini? Bagaimana jika ia marah lagi? lalu kukatakan pada kedua orangtuaku, bahwa aku telah di ceraikannya dengan kalimat yang jelas dan tegas. Mendengar itu, ibuku menangis dan telepon diserahkan ke ayahku.

“untuk apa duit ini nak?”

“untuk daftar haji kita bertiga, ayah. Mohon ayah setorkan ke bank sebagai uang pendaftaran haji. Insya Allah, aku akan kumpulkan uang agar kita bisa berangkat memenuhi panggilan-Nya.”

Ayahku tak kuasa mendengar kata kataku. Beliau pun ikut menangis. Terdengar jelas suara isak-nya di telepon.
Seperti kebanyakan permasalahan yang dihadapi teman temanku di HongKong. Baru dua Minggu, suami menelponku. Ia meminta maaf kepadaku dan bermaksud untuk rujuk kembali denganku.

“dik, maafkan mas ya. Saat itu mas sedang khilaf. Mas tidak ingin kehilangan kamu. Mas ingin rujuk kembali denganmu dik. Mas akan merubah semua sifat dan watak buruk mas. Mas janji!”

“terimakasih atas tawarannya mas. Kita hidup sudah hampir sepuluh tahun mas. Itu tandanya aku sudah mengabdi dan berbakti pada mas selama sepuluh tahun. Mas sering memaki ayah dan ibuku. Mas juga sudah sering pukuli aku bahkan mas sudah sering mengancamkanku dengan perceraian. Dua Minggu lalu, mas sudah sampai puncak kekesalan mas padaku hingga dengan tegas dan jelas mas ceraikan aku. Mas, aku mah apa atuh? Aku Cuma pembawa sial dalam hidup mas. Rezeki mas selalu seret karena menikah denganku. Jika mas ingin merubah watak dan sifat buruk mas, itu bagus dan semoga menjadi jalan kebaikan mas dimasa mendatang. Semua kesalahan mas sudah saya maafkan. Semoga Allah ridho kepada permohonan maaf mas. Tapi untuk kembali menjadi istri mas, rasanya aku tidak sanggup mas. Aku sudah putuskan, bahwa aku akan kembali pada orangtuaku dan ingin membahagiakan mereka.”

“dik, tolong berikan mas kesempatan lagi. Mas akan berbuat baik kepada kedua orangtuamu. Mas juga akan berbakti dan membahagiakan mereka. Tolong dik. Kembalilah pada mas!”

“mohon maaf. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk hidup berdampingan dengan mas. Carilah wanita lain sebagai pengganti. Semoga mas bisa berbahagia dengan wanita itu nantinya. Salamualaikum.” Lalu kumatikan telepon.
Dan sejak saat itu, aku mengganti nomor teleponku.

You are here: Home « Artikel Islam « Kisah Inspiratif

Fasilitas Pesantren

Pesantren Man Ana memiliki fasilitas lengkap untuk menunjang pendidikan.

Informasi lengkap tentang fasilitas pesantren dapat dilihat pada link berikut

Selengkapnya »


Disiplin Pesantren

Informasi lengkap tentag disiplin pesantren baik tata cara berpakaian dan perizinan santrit dilihat pada link berikut

Selengkapnya »

Biaya Pendaftaran

Lihat selengkapnya biaya pendaftaran untuk menjadi Santri Pesantren Man Ana.

Selengkapnya >>


Subscribe Us

 

Selengkapnya >>

 

Hubungi Kami

Pondok Pesantren Modern Man Ana, Gn. Picung, Kec. Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16810